POLMAN, POJOKRAKYAT — Dugaan pelanggaran serius dalam pengelolaan proyek pembangunan hanggar di area Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Desa Paku, Kecamatan Binuang, mulai terkuak. Proyek senilai Rp 1,6 miliar dari anggaran tahun 2024 yang diklaim dilaksanakan secara swakelola justru tidak melibatkan unsur masyarakat sebagaimana seharusnya. Jum’at 11 Juli 2025.
Berdasarkan penelusuran PojokRakyat, dua tokoh masyarakat yang secara resmi ditunjuk sebagai panitia pelaksana swakelola Sapri dan Kadir mengaku tidak pernah menerima dana, apalagi dilibatkan dalam proses pelaksanaan proyek tersebut.
“Terkait masalah anggaran dan teknis kegiatan, belum pernah disampaikan ke kami. Kita paham bahwa swakelola berarti anggaran diserahkan ke masyarakat dan mereka yang mengelola serta melibatkan warga sebagai pekerja. Tapi dalam kegiatan ini, tidak ada masyarakat yang diikutkan,” ungkap Sapri yang juga Ketua BPD Desa Paku saat ditemui di Desa Paku.
Sapri menambahkan bahwa awalnya memang ada komunikasi bahwa proyek akan dijalankan secara swakelola, namun sejak penunjukan sebagai panitia, tidak ada kelanjutan ataupun pencairan dana yang mereka terima.
Hal senada diungkapkan Kadir. Ia mengatakan bahwa dirinya hanya diminta membantu mencari alat berat saat proses awal pematangan lahan, namun pelaksanaannya dilakukan oleh pihak luar yang tidak pernah berkoordinasi kembali dengan panitia lokal.
“Pernah ditelepon dari PUPR, diminta cari alat berat dan katanya buru-buru. Tapi alat yang digunakan waktu itu justru didatangkan langsung oleh PUPR. Kami tidak pernah belanja barang atau menerima besi seperti yang sempat terlihat di lokasi. Bahkan besi itu kemudian diambil kembali, entah dibawa ke mana,” jelas Kadir.
Lebih lanjut, Kadir mempertanyakan legalitas pencairan dana proyek yang diduga telah dilakukan tanpa sepengetahuan dan tanda tangan panitia swakelola.
“Yang menjadi pertanyaan, kenapa ada anggaran yang sudah dicairkan? Kami tidak pernah menandatangani berkas pencairan apa pun,” tegasnya.
Skema swakelola seharusnya menjadi bentuk pemberdayaan masyarakat lokal. Dalam Permen PUPR Nomor 7 Tahun 2019, swakelola mengharuskan pelibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan, termasuk pembelian bahan serta penyerapan tenaga kerja lokal.
Namun dalam kasus proyek Hanggar ini, justru muncul dugaan bahwa model swakelola hanya menjadi kedok administratif, sementara kegiatan riil dikendalikan sepenuhnya oleh pihak Dinas yang tidak berkoordinasi dengan panitia resmi dari masyarakat.(bdt)