POLMAN, POJOKRAKYAT.ID — Seratus hari pertama biasanya menjadi tolak ukur awal untuk menilai arah dan komitmen pemerintahan yang baru dilantik. Di Polewali Mandar (Polman), sederet pencapaian telah dipublikasikan: dari penanggulangan stunting, pelayanan kesehatan massal, hingga digitalisasi sistem pengaduan. Namun, sebagaimana sering terjadi dalam politik pembangunan, yang tersaji di atas kertas tidak selalu sejalan dengan realitas di lapangan.
Contoh nyata datang dari Dusun Tologo, Desa Puppuring, Kecamatan Alu. Ketika akses jalan utama terputus akibat longsor, yang turun tangan bukanlah alat berat milik pemerintah, melainkan tangan-tangan warga sendiri. Tanpa dukungan logistik, tanpa bantuan material, dan bahkan tanpa pengakuan resmi, masyarakat bergotong royong membuka kembali jalur vital menuju pusat desa. Sebuah ironi pahit: ketika infrastruktur yang sejatinya menjadi tanggung jawab negara justru dipikul sepenuhnya oleh rakyat.
Lebih dari sekadar kasus jalan desa, situasi ini menggambarkan absennya negara dalam fungsi paling mendasarnya — menyediakan pelayanan dasar dan menjamin aksesibilitas wilayah. Ketidakhadiran itu pun berulang dalam persoalan lain yang tak kalah krusial: pengelolaan sampah.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Polewali Mandar tahun 2023, wilayah ini menghasilkan lebih dari 100 ton sampah rumah tangga setiap harinya. Sayangnya, kapasitas pengelolaan baru mencapai 60%, menyisakan 40 ton sampah yang tidak tertangani setiap hari. Ke mana larinya sampah-sampah itu? Kemungkinan besar ke sungai, pasar, dan bahkan pesisir pantai — memperparah krisis ekologis yang secara perlahan menghantam kualitas hidup warga.
Yang membuat situasi ini semakin getir adalah nihilnya transparansi kebijakan dan minimnya solusi konkret dari pemerintah daerah. Tidak ada peta jalan pengelolaan lingkungan yang jelas, tidak ada keberanian dalam membuat lompatan kebijakan. Yang ada hanyalah alasan klasik: keterbatasan anggaran dan armada. Dalih yang tampaknya sudah menjadi mantera pengalihan tanggung jawab.
Kita tidak sedang menuntut kesempurnaan. Tetapi, apakah terlalu berlebihan jika masyarakat mengharapkan kehadiran negara dalam bentuk paling elementer: menyediakan jalan dan mengelola sampah? Apakah harus menunggu bencana datang atau video viral di media sosial baru kemudian pemerintah tersentak dari tidurnya?
Seratus hari pertama seharusnya bukan sekadar panggung pencitraan, melainkan momentum refleksi — sejauh mana pemerintahan ini benar-benar hadir menjawab kebutuhan rakyat, bukan sekadar membacakan laporan di konferensi pers.
Pembangunan berkelanjutan bukan sekadar slogan, ia harus diwujudkan dalam kerja nyata yang menyentuh kehidupan sehari-hari. Jika jalan dibangun rakyat, dan sampah tetap menumpuk, maka kita patut bertanya: untuk siapa sebenarnya pemerintahan ini bekerja?
Polewali Mandar tidak butuh janji baru. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan yang nyata dan tindakan yang berpijak pada realitas. Pemerintah daerah harus kembali ke akarnya — melayani, bukan ditapaki.(*)