POLMAN, POJOK RAKYAT — Di negeri yang katanya menjunjung nilai-nilai pendidikan dan keteladanan, ironisnya, guru bisa ditikam di depan murid lain oleh seorang siswa yang mabuk. Ini bukan cerita fiksi distopia, tapi kenyataan pahit yang terjadi di SMK Desa Kasano, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Seorang pelajar SMA berinisial AI (17) masuk ke sekolah orang lain, dalam keadaan mabuk miras cap tikus, menenteng badik, mengamuk karena cemburu, lalu menikam seorang guru, Sabaruddin, yang coba melerai.
Di mana letak nurani kita saat seorang guru—simbol moral dan cahaya ilmu—harus menjadi korban dari amarah anak muda yang kehilangan kendali? Apakah ini sekadar kasus kriminal remaja biasa? Ataukah sebenarnya kita sedang berhadapan dengan wajah buram pendidikan karakter di negeri ini?
Ketika Sekolah Tak Lagi Aman
Kasus ini mengguncang kita bukan hanya karena ada kekerasan fisik, tapi karena tempat kejadian perkara adalah sekolah—tempat yang seharusnya menjadi ruang aman, ruang belajar, dan ruang membentuk nilai-nilai kemanusiaan. Namun, apa jadinya jika sekolah justru diserbu oleh amarah, dendam, dan pengaruh miras yang dibeli dengan mudah di SP1?
Padahal, konstitusi kita sudah menjelaskan dengan terang: pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Tapi bagaimana semua itu bisa dicapai jika sekolah tak mampu menghalau miras dari pagar gerbangnya sendiri?
Cemburu, Kekerasan, dan Cacatnya Pendidikan Karakter
Motif pelaku: cemburu. Pelaku mencari pacarnya, menuduh selingkuh, lalu menyerang membabi buta. Di sini kita melihat bagaimana kecerdasan emosional nyaris tak terbentuk. Tidak ada pengendalian diri, tidak ada nalar sehat. Yang ada hanya ego dan emosi.
Tan Malaka pernah berkata, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.” Lalu apa yang salah jika kita menemukan seorang pelajar yang mabuk dan menodai sekolah dengan darah gurunya? Apakah yang salah adalah muridnya? Atau sistem yang membentuknya? Atau kita semua yang terlalu lama membiarkan pendidikan berjalan tanpa jiwa?
Remaja, Miras, dan Negara yang Terlalu Sibuk Urusan Lain
Kita tahu, anak-anak bisa membeli cap tikus semudah membeli kopi instan. Maka jangan salahkan hanya anak-anak, sebelum kita bertanya pada negara dan masyarakat yang membiarkan pasar miras beredar di desa-desa. Polisi memang cepat bertindak. Tapi apakah cukup cepat mencegah?
Pramoedya Ananta Toer dengan getir menulis: “Alangkah sia-sia pendidikan orangtua kalau demikian. Alangkah sia-sia pendidikan agama. Alangkah sia-sia guru dan sekolah-sekolah.” Dan hari ini, kata-kata itu kembali menggema di ruang-ruang sekolah yang semestinya menjadi tempat pertumbuhan, bukan tempat kekerasan.
Refleksi: Untuk Apa Kita Mendidik?
Apakah kita mendidik hanya agar anak-anak lulus ujian, dapat nilai rapor tinggi, atau diterima di universitas? Atau seharusnya pendidikan menjadi jalan untuk membentuk manusia yang utuh—yang berpikir, merasa, dan bertindak secara bijak dan manusiawi? Ki Hadjar Dewantara mengingatkan kita, “Apa pun yang dilakukan oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya.” Maka pertanyaannya: apakah pendidikan kita masih memberi ruang bagi anak-anak untuk tumbuh menjadi manusia yang bermanfaat?
Bukan hanya guru yang ditikam hari itu. Tapi juga harapan kita terhadap nilai-nilai pendidikan yang kita banggakan di atas podium-podium seminar. Jangan sampai kita terus memproduksi generasi yang pintar secara teknis, tapi hampa secara etik dan emosi.
Sekolah, Masyarakat, dan Tanggung Jawab Kita Bersama
Kejadian ini harus menjadi cambuk. Sekolah tidak bisa berjalan sendiri. Guru tidak bisa sendirian. Negara tak bisa diam. Orangtua tak boleh lepas tangan. Ini soal tanggung jawab kolektif dalam membentuk karakter anak bangsa. Kalau kita abai hari ini, maka luka yang kemarin mungkin hanya awal dari tragedi-tragedi yang lebih menyakitkan esok hari.
Jangan biarkan sekolah menjadi tempat kekerasan dibenarkan atas nama cinta. Jangan biarkan anak-anak kita dibentuk oleh pasar miras, tontonan brutal, dan lingkungan yang tak pernah mengajarkan nilai kehidupan. Kita semua punya peran, dan semua bisa dimulai dari hal sederhana: hadir dan peduli.
Respon (13)
Komentar ditutup.