MAJENE, POJOK RAKYAT.ID — Ikatan Alumni Pondok Pesantren Al-Risalah Batetangnga (IKA RIBAT) wilayah Majene kembali menunjukkan kiprahnya dengan menggelar dialog publik bertema “Sumpah Pemuda dan Tantangan Identitas di Sulawesi Barat: Antara Adat, Agama, dan Nasionalisme” pada 22 November 2025 di Caffe Neo Alternative, Majene. Kegiatan ini menghadirkan para pemikir dan tokoh daerah yang selama ini menjadi rujukan dalam percakapan identitas Mandar.
Sejak awal, suasana diskusi terasa hangat namun serius. Narasumber pertama, Dr. Muhammad Ali Rusdi Bedong, S.Th.I., M.H.I.—Ketua Yayasan Ponpes Al-Risalah sekaligus Wakil Rektor III—menegaskan bahwa pemuda Mandar hari ini berdiri di persimpangan jalan: antara menjaga nilai agama, merawat adat, dan merespons derasnya arus nasionalisme modern. Ia mengingatkan bahwa identitas tidak bisa dipinjam dari luar; ia harus tumbuh dari akar budaya dan religiusitas yang telah lama menghidupi masyarakat Sulawesi Barat.
Budayawan Mandar Abba Tammalele kemudian membawa peserta menyelami lapisan-lapisan budaya yang sering kali terlupakan. Dalam pandangannya, Mandar bukan sekadar nama daerah, tetapi “jiwa”—nilai, bahasa, simbol, dan prinsip hidup yang diwariskan turun-temurun. Ia menyoroti bagaimana modernitas dan teknologi membuat batas antara identitas asli dan identitas digital semakin kabur, sehingga pemuda membutuhkan ruang belajar yang lebih intens untuk memahami akar dirinya.
Sorotan lain datang dari Zuhriah, S.Pd., M.A., Dosen STAIN Majene yang membahas aspek pendidikan dan transformasi sosial. Ia menjelaskan bahwa teknologi yang berkembang pesat bukan hanya membawa dampak positif, tetapi juga mengikis cara lama masyarakat dalam memaknai adat, agama, dan nasionalisme. Namun, menurutnya, peluang besar justru muncul ketika pemuda mampu memadukan nilai tradisi dengan kreativitas digital untuk membangun identitas baru yang lebih adaptif dan berdaya.
Diskusi dipandu oleh moderator muda IKA RIBAT, Ainun Askia, yang berhasil menjaga alur percakapan tetap hidup dan penuh energi. Berbagai organisasi kemahasiswaan turut hadir, menunjukkan bahwa isu identitas bukan lagi percakapan elit, tetapi kebutuhan generasi muda yang tengah mencari pijakan di dunia yang berubah cepat.
Melalui dialog ini, IKA RIBAT Majene tidak hanya menghadirkan ruang diskusi, tetapi juga membangkitkan kembali kesadaran bahwa identitas Sulawesi Barat harus dirawat bersama. Adat memberi warna, agama memberi arah, dan nasionalisme memberi tujuan. Ketiganya tidak harus dipertentangkan, tetapi bisa disatukan menjadi kekuatan kolektif. Dengan semangat Sumpah Pemuda, kegiatan ini menjadi pengingat bahwa generasi muda Mandar memiliki tanggung jawab besar: menjaga jati diri sambil terus melangkah mengikuti zaman. Dialog ditutup dengan optimisme bahwa percakapan seperti ini akan terus berlanjut dan menginspirasi gerakan nyata di masyarakat.(rls)










