MAJENE, POJOKRAKYAT – Sebuah kasus yang mengguncang hati nurani masyarakat Kabupaten Majene kembali mengingatkan kita bahwa perlindungan anak dimulai dari lingkungan terdekat. Seorang remaja putri berusia 17 tahun melahirkan bayinya di Puskesmas Pamboang pada Senin, 23 Juni 2025, dalam kondisi yang sangat memprihatinkan – sang ayah kandung diduga kuat menjadi pelaku yang telah merenggut masa depannya.
Berdasarkan laporan yang disampaikan korban sendiri, KI (17), tragedi ini bermula sejak dia berusia 15 tahun pada 2023. Mirisnya ayah kandung korbanlah inisial MA (43) yang diduga memanfaatkan kerentanan emosional putrinya atas dalih mencari kasih sayang karena hubungan yang renggang dengan sang istri.
Proses manipulasi emosional ini berlangsung secara bertahap. Pelaku menggunakan pendekatan yang memanfaatkan ikatan darah dan kepercayaan anak terhadap orang tuanya. Puncaknya terjadi ketika pelaku membawa korban ke sebuah lokasi wisata pemandian, sebelum akhirnya melancarkan niat jahatnya.
Peristiwa pertama diduga terjadi di rumah mereka di Kecamatan Pamboang. Sejak saat itu, penderitaan korban berlanjut dengan frekuensi satu hingga dua kali seminggu, hampir setiap minggu selama bertahun-tahun.
Kehamilan yang Tersembunyi
Korban baru menyadari kehamilannya ketika tidak mengalami menstruasi sejak September 2024. Setelah mengungkapkan kondisinya pada Februari 2025, pelaku membawa korban ke Puskesmas pada Mei 2025, dan memastikan kehamilan tersebut.
Situasi semakin rumit ketika nenek korban mengetahui kehamilan pada 6 Juni 2025. Untuk menutupi perbuatannya, pelaku kemudian membawa korban ke sebuah kamar kos kota Majene jauh dari pengawasan keluarga.
Pada 23 Juni 2025 pukul 05.40 WITA, korban melahirkan seorang bayi laki-laki dalam kondisi sehat. Ironinya proses persalinan ini berlangsung dalam pendampingan pelaku yang telah merenggut masa depan anaknya. Pihak kepolisian telah menerima laporan resmi dan sedang melakukan penyelidikan mendalam. Pelaku kini dijerat dengan Pasal 81 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yang mengancam hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp 5 miliar, dengan tambahan hukuman pemberatan khusus untuk pelaku yang merupakan orang tua atau wali.
Kabar ini tentu saja memicu gelombang keprihatinan di masyarakat. Para aktivis perempuan dan organisasi perlindungan anak di Majene menyuarakan kecaman keras.
“Jika benar pelakunya adalah ayah kandung, ini bukan sekadar kejahatan hukum, tapi juga kejahatan kemanusiaan. Negara harus hadir dan memberikan keadilan kepada korban,” kata Harmegi Amin, Ketua Devisi Gender, Anak dan Masyarakat Marjinal AJI Mandar, Sulbar.
Harmegi berharap, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Majene dapat memastikan korban mendapatkan perlindungan komprehensif, baik secara hukum maupun psikologis.
“Kasus ini menjadi pengingat pahit bahwa perlindungan anak harus dimulai dari lingkungan terdekat. Rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi seorang anak, dalam kasus ini justru menjadi tempat penderitaan terpanjang,” ujar Harmegi prihatin.
Tragedi ini, menuntutnya, patut menjadi refleksi mendalam dari seluruh lapisan masyarakat. Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga komunitas dan setiap individu. “Kita perlu menciptakan sistem yang memungkinkan anak-anak berbicara tanpa takut, dan memastikan setiap laporan ditangani dengan serius,” ujarnya.
Harmegi berharap, korban, perjalanan pemulihan masih panjang. Dukungan psikologis, perlindungan hukum, dan rehabilitasi sosial menjadi kunci untuk membantunya membangun kembali masa depan yang lebih baik, bersama buah hatinya yang tidak berdosa. “Semoga keadilan dapat ditegakkan, dan tragedi serupa tidak terulang lagi di masa mendatang,” harapnya. (*)